sumber: freepik.com

 

         Hari masih pagi ketika Ibu menyuguhkan secangkir teh beraroma melati. Ia meletakkan cangkir teh itu di atas meja kecil di sudut kamar, memastikan bahwa saya sudah bangun. Meskipun masih agak malas untuk beranjak dari tempat tidur, tetapi saya duduk menjejerinya. Musim bunga kopi di kampung seolah mengantarkan hawa dingin ke setiap sudut di ruangan ini. Siapa yang tak betah bersembunyi di bawah selimut?
Pulang kampung. Itu yang telah saya lakukan. SMS berisi undangan–yang selebihnya permohonan–dua hari yang lalu saya terima dari nomer yang tidak saya kenal. Si pengirim mengaku bernama Ajit, sahabat lama yang telah menjadi perwira polisi. Ia akan menyunting seorang gadis yang ia rahasiakan.
“Tadi malam Ajit datang, Ibu ndak tega membangunkanmu,” ujar ibu.
Oh, rupanya Ibu sudah menyampaikan berita kepulangan saya. Padahal, sesuai rencana saya ingin memberi kejutan pada Ajit. Ibu pasti punya alasan, dan saya tak perlu menyesali perkara kecil ini. Perempuan 65 tahun itu mengambil cangkir dari tangan saya, meletakkannya kembali di tempat semula.
Calon bojone ayu tenan, mirip artis-artis yang di tivi itu,” sambung Ibu penuh pujian. Matanya yang sayu berbinar. “Sebenarnya mereka ingin segera bertemu kamu. Tapi Ibu lihat, tadi malam kamu kelelahan, maka Ibu tak membangunkan tidurmu.”
Ibu meminta saya untuk telungkup. Sedetik kemudian, tangannya mulai meremas-remas betis saya. “Kowe kapan arep nyusul?” tanyanya pelan.
Saya diam. Membiarkan Ibu menuntaskan kalimatnya.
“Umurmu sudah 30 lebih, Le. Bapak dan Ibu sudah ndak sabar ingin menimang cucu,” ujar Ibu lagi selepas menjeda kalimatnya beberapa detik. “Kamu masih berhubungan dengan Anjani to? Kenapa ndak kamu jadikan isteri saja?”
Saya membalikkan badan, memandang Ibu lekat. “Pacaran aja belum.”
“Damar, Damar.” Ibu terkekeh pelan. “Ibu lihat, dulu hubungan kalian sangat akrab, bahkan lebih dari sekadar pacaran. Lalu, cari yang bagaimana lagi? Anjani itu cantik dan pintar, Le. Sebenarnya … kalian punya hubungan serius ndak to?
“Dia sahabat saya, Bu. Susah mengatakannya. Lagi pula dia jauh.”
“Ohh, jadi hanya karena ndak bisa ngomong? Apa harus Ibu yang bilang heh? Katakan, di mana dia sekarang? Berikan nomer telepon-nya. Biar Ibu urus.”
“Bu, bisakah kita membicarakan ini nanti saja? Saya kangen sayur asem buatan Ibu.” Saya berusaha mengalihkan pembicaraan. Belum siap rasanya jika harus cerita pada ibu saat ini. Biarlah, saya sendiri yang tahu tentang segala rasa terhadap Anjani. Pada saatnya nanti, saya yakin ibu akan tahu jawaban dengan sendirinya.
Ibu menarik napas pelan. “Setelah mandi, datanglah ke rumah Ajit,” pintanya.
“Gampanglah. Oya, Ibu yakin dia sudah berubah?!”
 “Kamu sudah tahu jawabannya, bukan?” Ibu memandang saya dengan tatapan jenaka. “Kalau ndak,mana mungkin kamu bela-belain pulang kampung. Kamu bilang kerjaanmu seabreg, cuti dibatasi. Hampir lima tahun bekerja di Jakarta, kamu hanya pulang tiga kali, itu pun karena Ibu memaksa. Sekarang, hanya karena sms, kamu rela ambil cuti dan pulang kampung. Apa namanya kalau bukan demi sahabat?”
Hmm, mungkin Ibu benar. Dan, kalau dihitung-hitung hampir tiga belas tahun saya dan Ajit tidak bertemu, sejak ia ikut ayahnya yang dipindahtugaskan ke Medan. Tak pernah ada kontak sejak kami lulus SD. Sepeninggalnya, saya meneruskan ke SMP dan SMA di Klaten bersama Anjani, sahabat karib saya. Enam tahun kemudian saya melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Sedangkan Anjani ikut keluarganya ke Manado, kuliah di sana.
“Ya sudah. Nanti kita sarapan bareng sebelum bapakmu berangkat ke sawah.” Ibu mengacak rambut saya lantas berdiri gegas. “Tapi, Le, kamu sudah harus berpikir serius tentang pasangan lho. Tegaslah menentukan pilihan, Le. Jangan sampai calonmu keduluan orang. Ibu bicara serius ini! Ajit saja sudah dapat, terus kamu kapan?”
Ah, Ajit! Sejujurnya, kami bukanlah sahabat yang baik. Waktu itu, kami lebih sering berselisih paham. Kami sering saling mengganggap musuh. Saya dan Ajit adalah ketua dari kumpulan beberapa teman sebaya, sebuah genkyang menjadi trend kala itu.
Kami jarang bicara, walaupun sering bersama di banyak kesempatan. Hal ini semakin terasa ketika kami duduk di kelas lima. Dalam pemilihan ketua kelas, kami memiliki suara yang sama kuat. Keputusan wali kelas-lah yang kemudian menuntut saya untuk mengalah dan rela menjadi wakil ketua, mendampingi Ajit yang keras kepala.
Tidak, saya tidak membencinya. Saya yakin, Ajit pun demikian. Terbukti, beberapa kali ia membantu ketika saya terjatuh dari sepeda di jalan berkerikil. Semua itu ia lakukan tanpa bicara. Apa lagi beramah-tamah dalam bahasa yang baik dan santun. Begitu pula dengan saya. Kendatipun ada keinginan yang kuat untuk menghaturkan serangkum ucapan terima kasih, tetap saja saya gengsi melakukannya. Dan selebihnya, kami sering kali berselisih dalam banyak hal.
Hubungan aneh ini terbawa dalam pertemanan yang lebih banyak kami habiskan bersama dan dalam setiap permainan gobak sodor yang kerap kami mainkan. Ajit yang memiliki tubuh paling bes­­ar di antara kami, selalu saja berulah dan seolah paling berkuasa. Kalau saja saya tidak banyak mengalah, tidak akan terhitung lagi berapa banyak pertengkaran dan perkelahian kami lakukan.
Seperti rewind sebuah kaset, gambaran masa lalu menyeruak memenuhi benak, tanpa mampu saya menepisnya.
***
Kami berkumpul di tanah lapang untuk bermain gobak sodor. Setelah melalui diskusi yang cukup alot, kami membuat arena bermain di lapangan bola. Membuat garis batas menggunakan abu dapur. Namun, malam yang seharusnya indah itu berubah bencana. Selain bermain curang, Ajit lebih banyak berusaha mempermalukan saya di depan teman-teman. Terlebih di depan Anjani, sahabat terdekat saya.
Ketika giliran kelompok kami menjadi penjaga, saya menjaga blandar–garis vertikal di tengah arena bermain.  Ajit banyak mengecoh, membuat tubuh saya limbung dan ambruk.        Saya kecewa dan malu sudah dijadikan bulan-bulanan di depan teman-teman, terutama Anjani. Saya rasa Ajit sengaja melakukannya. Ia memang tidak suka melihat kami terlalu akrab. Sungguh, ia tak pernah mengerti persahabatan kami. Persahabatan yang saya nilai sangat agung, melebihi ikatan sebagai adik dan kakak. Anjani terlalu manis dan baik. Saya tak pernah rela ia menjadi korban kejahilan Ajit.
Oya, kabar terakhir yang saya baca dari akun facebook-nya–yang tanpa sengaja saya temukan setahun yang lalu–sekarang Anjani tengah melanjutkan S2 sambil menggeluti dunia modeling. Ya, Anjani layak menggeluti dunia itu. Sejak kecil, ia memang cantik. Tidak mengherankan jika ia selalu menjadi pusat perhatian. Tak jarang pula teman-teman lelaki di sekolah mengakuinya sebagai pacar. Tetapi justru Anjani kecil menghindar, menjadikan saya sebagai benteng untuk menahan kejahilan teman-teman.
Mungkin karena sama-sama tak begitu aktif di dunia maya, kami hanya sempat empat kali saling sapa, itu pun hanya melalui inboxyang selalu saya baca setelah beberapa hari. Tak banyak informasi yang saya dapatkan, selain cerita tentang kesibukannya membagi waktu dan obsesinya untuk mengumpulkan teman-teman lama.
Dalam inbox terakhirnya, ia sempat menawari saya untuk bertemu di Jakarta. Ia akan menyisihkan waktu di sela-sela pemotretan untuk sebuah tabloid . Saya menyambut antusias rencana itu. Saya ingin Anjani tahu bahwa saya menyimpan rasa kepadanya. Tetapi pertemuan yang diam-diam saya rancang menjadi momen istimewa itu, terpaksa gagal. Pada hari kedatanganya, saya ditugaskan ke Balikpapan. Dan, hingga saat ini saya belum sempat menyampaikan rasa saya–mungkin benar, saya tidak tegas.
Saya tidak tahu apakah ia juga sudah menemukan Ajit di dunia maya. Ada keinginan untuk menanyakan hal itu di awal obrolan kami dahulu, tetapi urung saya lakukan. Saya hanya takut kenangan itu mengusiknya, meskipun saya yakin ia tak pernah menyimpan rasa benci pada Ajit. Jujur, kenakalan Ajit di masa lalu, tetap menjadi kenangan indah dan lucu yang sulit dilupakan.
Rasa kecewa dan benci karena ulah Ajit yang menyebalkan dalam permainan gobak sodor terakhir, tidak hilang hingga esoknya. Dan pagi itu, ketika saya melihat wajah Ajit, rasanya ingin saya benturkan kepalanya ke tiang bambu di kantin sekolah. Dalam dua kali pertandingan, ia sengaja menampar punggung saya, diperhatikan banyak mata. Rasa sakit itu tidak seberapa jika dibandingkan rasa malu yang sengaja saya tahan. Apalagi, tak jauh di sudut lapangan, Anjani seolah menelanjangi.
Ajit bukan tidak paham bermain gobak sodor. Permainan yang terdiri dari dua regu ini, minimal diwakili oleh dua orang setiap regunya. Satu regu bermain sebagai penjaga dan regu lawan bermain sebagai pemain secara bergantian. Setiap anggota regu pemain akan berusaha mencapai garis belakang arena dan kembali ke garis awal. Anggota regu penjaga akan mencegah pemain di garis blandar dan empat garis horizontal. Jika satu pemain tersentuh penjaga, maka ia sudah tidak berhak lagi bermain. Jika keseluruhan pemain tersentuh, maka posisi regunya akan berganti sebagai penjaga.
Tetapi, aturan itu tidak berlaku bagi Ajit. Sehingga adu mulut pun terjadi. Walau akhirnya Ajit dan regunya bisa menerima keputusan banyak pihak, tetapi ternyata ia memendam niat jahat. Seharusnya ia tidak perlu memukulkan telapak tangannya sekuat tenaga di punggung saya. Dengan hanya menyentuh saja, semua akan mengerti kalau saya sudah ‘mati’ dan harus keluar dari permainan. Tiga kali ia melakukan itu. Tiga kali saya terjatuh dengan punggung yang memanas.
Niat untuk membalas dendam pagi itu masih ada ketika ia menghampiri. Dengan gerakan cepat, tangannya memasukkan lipatan kertas ke saku baju seragam saya. Secepat ia mendatangi, secepat itu pula ia pergi. Saya baru sadar, ternyata itulah saat terakhir kalinya saya melihat wajahnya. Dalam suratnya ia menulis; “Maafkan aku. Kita tetap berteman dan akan bertemu lagi. Tapi aku tidak suka kamu dekat dengan Anjani.
Malamnya, ketika saya ulangi membaca tulisan tangan Ajit, dada ini sesak. Tanpa terasa air mata saya mengalir. Saya benar-benar kehilangan seorang sahabat.
“Dam, kamu jangan sedih. Aku yakin, kita akan bertemu Ajit lagi kok,” bujuk Anjani penuh perhatian, “Lagian, masih ada aku, sahabatmu.”
Seiring waktu, Ajit seperti lenyap dalam kehidupan saya. Entah sengaja atau tidak, Anjani pun jarang membicarakannya lagi, hingga kemudian kami benar-benar tidak pernah membahas kapan Ajit akan kembali atau bagaimana keadaan ia sekarang–bahkan ketika saya temukan Anjani di facebookbeberapa waktu yang lalu.
***
“Hey, orang kota nih!”
Teguran itu dan satu sentuhan di pundak membuat saya spontan membalikkan badan. Di hadapan saya berdiri seorang lelaki muda yang lumayan ganteng. Bentuk tubuhnya atletis dengan rambut cepak dan rapi.
“Aku Ajit,” ujarnya. Sepertinya dia mengerti apa yang ada di kepala saya. “Kamu sekarang seperti artis. Ganteng, Bro!”
Tanpa kata, spontan saya meninggalkan kursi. Berdiri. Menyambut uluran tangannya lalu kami berpelukan. Ada butiran hangat membasahi bahu kanan saya. Ia  menangis. Ajit yang saya kenal keras, angkuh dan pantang menunjukkan sisi lemahnya, kini luruh dalam sejuta rasa. Barangkali rasa itu seperti yang saya rasakan; rindu dan haru yang berbaur menjadi satu.
“Aku kangen kamu, Dam.”
“Iya, aku juga.” Mata saya terasa panas dan berat. Seolah ada ribuan ton beban di sana–yang tak ingin saya tunjukkan. “Kita duduk di ruang tamu ya?”
“Dam, aku mau nikah .…” Ajit berusaha menahan langkah saya ke ruang tamu, seolah ingin meyakinkanku bahwa niatnya sungguh-sungguh. “Aku ingin kamu merestui pernikahan kami. Maaf sebelumnya, kami sengaja merahasiahkan ini .…”
“Tentu saja aku merestui,” ujar saya seraya ke luar dari kamar.
Di ruang depan. Berdiri seorang gadis semampai berambut sebahu. Wajahnya halus dan manis. Senyum ranum mengembang dari bibirnya yang indah sempurna. Ada genangan bening mengambang di bola mata yang bulat itu. Saya belum sempat menghampiri ketika tiba-tiba ia merengkuh saya ke dalam pelukan hangat dan bersahabat.
Saya hanya mampu berbisik pelan. “Anjani ….”

***

Ditulis oleh: Redy Kuswanto, Cerpenis dan Novelis

By admin

One thought on “[Cerpen] Sahabat dan Kenangan Gobak Sodor”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *